Oleh : Muhammad Assad dalam buku Notes From Qatar
“9 dari 10 Pintu Rezeki itu berasal dari Perniagaan (Perdagangan)”
Alhamdulillah akhirnya bisa update blog lagi. Setelah vakum hampir 3 minggu karena umrah selama 10 hari, finally I come back again!
Sebetulnya hari ini masih agak males nulis karena banyak kerjaan, tapi
karena diingetin sepupu tercinta (yang juga pembaca setia blog ini),
Juwita Aulina, untuk selalu update blog setiap hari Jumat dan ini udah 3
minggu lewat hehe.. ya, saya memang biasanya akan mengupdate blog
setiap hari jumat dengan series #notesfromQatar.
Alright, pada #notesfromQatar kali
ini saya bukan menceritakan tentang pengalaman Umrah saya (itu mungkin
minggu depan). Tapi pada kesempatan ini saya ingin mengajak kita semua
untuk menjadi seorang entrepreneur! Lho, memang kenapa harus menjadi seorang entrepreneur? Apa menjadi orang gajian / karyawan itu buruk? Jawaban saya, keduanya adalah bagus. Namun, rasanya menjadi seorang entrepreneur itu lebih asik! Mari belajar bersama!
Sebelum saya berbicara mengenai entrepreneurship, kita harus mengenal dulu mengenai konsep rezeki. Dengan mengetahui hal ini, maka akan jelas mengapa dengan menjadi seorang entrepreneur
itu akan lebih banyak membuka pintu rezeki dan sejalan dengan apa yang
disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW bahwa 9 dari 10 pintu rezeki itu
berasal dari perdagangan. Perdagangan disini tentunya bermakna
wirausaha, berbisnis, berjualan, dsb
Ada Tiga Tipe Rezeki:
1. Rezeki yang dijamin
Allah SWT telah menjamin rezeki bagi
setiap makhluk ciptaan-Nya. Seluruh makhluk hidupnya, dari manusia
hingga binatang terkecil yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang,
semua sudah ada bagian rezekinya.
“Dan tidak ada satu pun makhluk
bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin oleh Allah
rezekinya. Dia Maha Mengetahui tempat kediamannya (dunia) dan tempat
penyimpanannya (akhirat). Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata
(Lauhul Mahfudz).” (QS. Huud [11] : 6)
Jadi disini ibaratnya, masing-masing kita
ini sudah punya rezeki yang dijatah oleh Allah SWT. Jadi, kita tidak
perlu risau dan khawatir takut ga kebagian rezeki. Kalau kata Imam Ibnu
Athaillah dalam kitabnya al-Hikam, “Jangan merisaukan apa yang sudah
dijanjikan Allah kepada kita. Tetapi, risaukanlah jika kita lalai
menjalankan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada kita.”
2. Rezeki yang digantungkan
Ini adalah jenis rezeki yang kedua.
Yaitu, rezeki yang digantungkan. Seperti yang sudah dibahas di atas
bahwa Allah SWT telah menjamin rezeki bagi seluruh makhluk ciptaan-Nya.
Tapi, manusia juga wajib untuk MENJEMPUT jatah rezekinya tersebut.
Contoh mudahnya adalah, Allah SWT memberikan rezeki kepada singa setiap
harinya. Namun Dia tidak serta merta melemparkan daging rusa ke kandang
singa. Singa itu sendiri lah yang harus berusaha keluar kandang dan
mencari mangsa untuk mengisi perutnya.
Kalau singa aja gitu, gimana kita
manusia? Kita diberikan seperangkat potensi yang sangat dahsyat untuk
mencari rezeki. Kita punya otak untuk berpikir, kaki untuk berjalan dan
tangan untuk berusaha. Semakin keras kita berusaha mendapatkan jatah
rezeki kita, semakin maksimal kita akan berhasil mendapatkan semuanya.
Tapi kalau kata Ust. Yusuf Mansur, kerja keras saja tidak cukup, harus
ditambah dengan cerdas dan ikhlas. Kerja keras adalah tugas fisik kita,
kerja cerdas adalah tugas akal kita, dan kerja ikhlas adalah tugas hati
kita.
3. Rezeki yang dijanjikan
Nah kalau rezeki model ini ada hubungannya dengan sedekah (my fave topic!).
Semakin banyak kita bersedekah maka akan semakin banyak rezeki yang
mengalir ke kita, minimal 10 kali lipat. Al-Quran menegaskan, “Barangsiapa berbuat kebaikan mendapat sepuluh kali lipat amalnya..” (QS. Al-An’am [6]: 160).
Bahkan di surat lain, Al-Baqarah, Allah berjanji akan membalas sebanyak 700 kali lipat! Canggih! Coba disimak baik-baik: “Perumpamaan
orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji
yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji.
Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan
Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] : 261)
Kalau tentang rezeki yang dijanjikan ini, sudah cukup banyak pengalaman pribadi tentang hal ini. Beberapa sudah saya share di blog ini. Silahkan dibaca bagi yang belum baca: (http://muhammadassad.wordpress.com/2010/03/12/business-class-for-free/) dan (http://muhammadassad.wordpress.com/2009/11/20/dahsyatnya-sedekah/)
Robert Kiyosaki dalam bukunya yang sangat terkenal “Rich Dad Poor Dad”, menjelaskan bahwa ada 4 tipe orang dalam cashflow quadrant, yaitu Employee, Self-Employed, Business owner dan Investor. Kuadran 1 atau orang yang bekerja untuk uang diisi oleh Employee dan Self-Employed. Sedangkan Kuadran 2 atau uang yang bekerja untuk orang diisi oleh Business owner dan
Investor. Dari kedua kuadran tersebut, secara jelas Kiyosaki mengatakan
bahwa orang-orang yang berada di kuadran ke dua lah yang bisa menjadi
orang yang kaya. Jadi, ya kalau bukan menjadi Business Owner berarti menjadi Investor, baru orang tersebut bisa menjadi kaya.
Tapi sebetulnya, jauh beribu-ribu tahun
yang lalu, Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan hal yang secara implisit
sama persis dengan realita yang terjadi sekarang ini. Dalam salah satu
hadithnya beliau bersabda, “9 dari 10 Pintu Rezeki itu berasal dari perniagaan (perdagangan)”
(HR. Tirmidzi). Dengan kata lain berarti yang menguasai 90% pintu
rezeki itu adalah para pedagang atau pebisnis. Hal ini ternyata sejalan
dengan fakta yang terjadi di dunia ini. Dari daftar 100 list of World’s
Billionaires atau orang terkaya di dunia yang dikeluarkan oleh Forbes,
lebih dari 90% adalah seorang business owner seperti Bill Gates (USA), Laksmi Mittal (India) dan Carlos Lim (Meksiko) atau seorang investor macam
Warren Buffet (USA). Di Indonesia pun demikian, nama-nama yang selalu
bertengger dalam daftar 100 orang terkaya di Indonesia adalah para
pengusaha, seperti Aburizal Bakrie (Bakrie Brothers), Chairul Tanjung
(Para Group), Mochtar Riady (Lippo Group), sampai yang baru saja
meninggal William Soeryadjaya (pendiri PT. Astra International).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Dr. David McCelland dari Harvard University dalam bukunya “The Achieving
Society”, suatu negara dapat mencapai kemakmuran dan kesejahteraan jika
minimal 2% dari jumlah penduduknya menjadi pengusaha. Hal itu berarti,
Indonesia membutuhkan paling tidak sekitar 5 juta dari 230 juta
penduduknya untuk menjadi seorang pengusaha. Namun ternyata fakta yang
ada seperti jauh api dari panggang. Menurut data yang disampaikan oleh
Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hasan, jumlah total pengusaha Indonesia
saat ini adalah “hanya” sekitar 450.000 pengusaha atau 0.2% dari jumlah
penduduk Indonesia. Sebagai perbandingan, Amerika memiliki pengusaha
lebih dari 11 %, Singapura 7,2%, Jepang dan China lebih dari 7%.
Dengan demikian, kalau menurut teori Kiyosaki, ada sekitar 99.8% penduduk Indonesia yang berada di kuadran pertama (Employee dan Self-Employed)
dan 0.2% penduduk Indonesia yang berada di kuadran kedua. Ini berarti,
sebanyak 450.000 (0.2%) penduduk Indonesia itu menguasai lebih dari 90%
pintu rezeki dan sebanyak 229.6 juta (99.8%) penduduk hanya mendapatkan
“sisa” pintu rezeki yang tinggal 10% saja. Sepertinya tidak adil ya,
tapi memang seperti inilah kondisinya.
Faktor lingkungan dan pendidikan
mempengaruhi seseorang untuk menjadi apa dia ke depannya. Salah satu
dedengkot pengusaha Indonesia, Bapak Ir. Ciputra dalam suatu kesempatan
pernah mengatakan bahwa akar dari kemiskinan Indonesia bukan semata
karena minimnya akses pendidikan, melainkan karena sistem pendidikan di
negara ini tidak mengajarkan dan menumbuhkan jiwa entrepreneur dengan
baik. Pendidikan tinggi Indonesia lebih banyak menciptakan sarana
pencari kerja dibanding pencipta lapangan kerja. Sistem pendidikan
Indonesia yang banyak mengandalkan sistem belajar pasif (guru
menerangkan dan murid mendengarkan) memberikan dampak yang cukup
signifikan untuk membuat masyarakat Indonesia menjadi tidak kreatif dan
produktif, dan hanya terbiasa mengandalkan makan gaji. Negara ini banyak
mencetak begitu banyak sarjana yang handal dengan kemampuan
akademisnya, namun tidak handal menjadikan mereka lulusan yang kreatif
yang dapat menciptakan lapangan kerja. Akibatnya, pengangguran terdidik
di Indonesia semakin besar setiap tahunnya. Too bad!
Saya pun, dan anda mungkin juga pernah mengalami ditanya oleh teman saat masih kuliah. Pertanyaaannya kurang lebih seperti ini, “nanti kalau lulus mau ngelamar kerja dimana?” saya sering menjawab, “Insya Allah mau buka usaha sendiri, mau berbisnis”. Tapi respon yang didapat, “kan bisnis butuh modal?” kata saya, “iya bener, tapi modal tidak selalu uang kan? bisa juga modal berbentuk ide dan gagasan. Bahkan, modal dengkul pun bisa!”. Untuk modal yang terakhir (dengkul), Bob Sadino adalah contoh ter-gress!
Jadi, dengan kondisi yang telah
dijelaskan di atas, saya mengajak kepada teman-teman semua para generasi
muda untuk menjadi seorang entrepreneur! Mengapa harus generasi muda?
Karena generasi muda yang bertanggung jawab untuk membawa kemajuan suatu
bangsa. Maju atau mundurnya suatu bangsa di masa yang akan datang dapat
dilihat dari kondisi kaum mudanya pada masa sekarang ini.
Ada ungkapan yang mengatakan bahwa masa
muda adalah masa hura-hura. Lebih tepatnya, “Muda foya foya, tua kaya
raya, mati masuk Surga”. Siapa yang tidak ingin dengan kondisi seperti
ini? Semua orang pasti menjawab, “Yes, I want!” Tapi sayangnya
pepatah seperti ini menyesatkan. Tidak akan ada cerita jika di awal
(masa muda) kita berfoya-foya, maka di masa tua kita akan kaya raya dan
selanjutnya mati masuk surga hehehe. Kenapa? Karena inputnya saja sudah salah. Ibarat blender juice, kalau kita memasukkan jeruk ke dalam blender, maka yang keluar adalah jus jeruk dan bukan jus apple.
Seharusnya kalimat yang benar, kata foya-foya diganti dengan kata berkarya sehingga menjadi “muda berkarya, tua kaya raya, mati masuk Surga”.
Berkarya disini bermakna luas, dan salah satu cara untuk bisa berkarya
adalah dengan menjadi seorang entrepreneur. Menjadi seorang entrepreneur
akan memberdayakan kemampuan potensi kita dan juga memberdayakan orang
lain. Bukankah Rasululah SAW pernah bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama”
(HR. Thabrani). Dengan kata lain, menjadi entrepreneur memberikan
kesempatan yang lebih besar kepada kita untuk dapat berkontribusi kepada
Ummah, bangsa dan negara.
Sebagai penutup, saya membayangkan akan semakin banyak kaum muda Indonesia yang memiliki jiwa entrepreneurship,
karena jiwa-jiwa seperti itulah yang menjadi pupuk untuk melahirkan
lebih banyak lagi para pengusaha di Indonesia. Semakin banyak pengusaha,
maka semakin besar juga kesempatan untuk bekerja karena banyaknya
lapangan kerja yang tersedia. Dan pada akhirnya, semakin banyak
kesempatan untuk bekerja, maka semakin tinggi pula harapan kesejahteraan
bagi penduduk Indonesia.
What else are you waiting for? Let’s take off together! Go Young Entrepreneur!
Wallahu ‘alam bishshawwab
Nb: kalau ada yang punya jiwa
entrepreneur atau senang berbisnis, boleh kita berdiskusi lebih jauh.
Siapa tau ada peluang-peluang yang bisa kita kerjain bareng. Silaturahmi
itu juga salah satu kunci mendatangkan rezeki! Silahkan hubungi saya
melalui blog ini, twitter (@muhammadassad) atau email: muh_assad@yahoo.com
Wassalam,
Hhe ,, Sekarang Ngebolog Juga Bro ??
BalasHapus"Satria" UTAMA.. HAHHA