Minggu, 16 Juni 2013

Ayo Menjadi Entrepreuner

Oleh : Muhammad Assad dalam buku Notes From Qatar


“9 dari 10 Pintu Rezeki itu berasal dari Perniagaan (Perdagangan)”  

Alhamdulillah akhirnya bisa update blog lagi. Setelah vakum hampir 3 minggu karena umrah selama 10 hari, finally I come back again! Sebetulnya hari ini masih agak males nulis karena banyak kerjaan, tapi karena diingetin sepupu tercinta (yang juga pembaca setia blog ini), Juwita Aulina, untuk selalu update blog setiap hari Jumat dan ini udah 3 minggu lewat hehe.. ya, saya memang biasanya akan mengupdate blog setiap hari jumat dengan series #notesfromQatar.

Alright, pada #notesfromQatar kali ini saya bukan menceritakan tentang pengalaman Umrah saya (itu mungkin minggu depan). Tapi pada kesempatan ini saya ingin mengajak kita semua untuk menjadi seorang entrepreneur! Lho, memang kenapa harus menjadi seorang entrepreneur? Apa menjadi orang gajian / karyawan itu buruk? Jawaban saya, keduanya adalah bagus. Namun, rasanya menjadi seorang entrepreneur itu lebih asik! Mari belajar bersama!

Sebelum saya berbicara mengenai entrepreneurship, kita harus mengenal dulu mengenai konsep rezeki. Dengan mengetahui hal ini, maka akan jelas mengapa dengan menjadi seorang entrepreneur itu akan lebih banyak membuka pintu rezeki dan sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW bahwa 9 dari 10 pintu rezeki itu berasal dari perdagangan. Perdagangan disini tentunya bermakna wirausaha, berbisnis, berjualan, dsb

Ada Tiga Tipe Rezeki:

1. Rezeki yang dijamin
Allah SWT telah menjamin rezeki bagi setiap makhluk ciptaan-Nya. Seluruh makhluk hidupnya, dari manusia hingga binatang terkecil yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang, semua sudah ada bagian rezekinya.

Dan tidak ada satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin oleh Allah rezekinya. Dia Maha Mengetahui tempat kediamannya (dunia) dan tempat penyimpanannya (akhirat). Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauhul Mahfudz).” (QS. Huud [11] : 6)

Jadi disini ibaratnya, masing-masing kita ini sudah punya rezeki yang dijatah oleh Allah SWT. Jadi, kita tidak perlu risau dan khawatir takut ga kebagian rezeki. Kalau kata Imam Ibnu Athaillah dalam kitabnya al-Hikam, “Jangan merisaukan apa yang sudah dijanjikan Allah kepada kita. Tetapi, risaukanlah jika kita lalai menjalankan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada kita.”

2. Rezeki yang digantungkan
Ini adalah jenis rezeki yang kedua. Yaitu, rezeki yang digantungkan. Seperti yang sudah dibahas di atas bahwa Allah SWT telah menjamin rezeki bagi seluruh makhluk ciptaan-Nya. Tapi, manusia juga wajib untuk MENJEMPUT jatah rezekinya tersebut. Contoh mudahnya adalah, Allah SWT memberikan rezeki kepada singa setiap harinya. Namun Dia tidak serta merta melemparkan daging rusa ke kandang singa. Singa itu sendiri lah yang harus berusaha keluar kandang dan mencari mangsa untuk mengisi perutnya.

Kalau singa aja gitu, gimana kita manusia? Kita diberikan seperangkat potensi yang sangat dahsyat untuk mencari rezeki. Kita punya otak untuk berpikir, kaki untuk berjalan dan tangan untuk berusaha. Semakin keras kita berusaha mendapatkan jatah rezeki kita, semakin maksimal kita akan berhasil mendapatkan semuanya. Tapi kalau kata Ust. Yusuf Mansur, kerja keras saja tidak cukup, harus ditambah dengan cerdas dan ikhlas. Kerja keras adalah tugas fisik kita, kerja cerdas adalah tugas akal kita, dan kerja ikhlas adalah tugas hati kita.

3. Rezeki yang dijanjikan
Nah kalau rezeki model ini ada hubungannya dengan sedekah (my fave topic!). Semakin banyak kita bersedekah maka akan semakin banyak rezeki yang mengalir ke kita, minimal 10 kali lipat. Al-Quran menegaskan, “Barangsiapa berbuat kebaikan mendapat sepuluh kali lipat amalnya..” (QS. Al-An’am [6]: 160).

Bahkan di surat lain, Al-Baqarah, Allah berjanji akan membalas sebanyak 700 kali lipat! Canggih! Coba disimak baik-baik: “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] : 261)

Kalau tentang rezeki yang dijanjikan ini, sudah cukup banyak pengalaman pribadi tentang hal ini. Beberapa sudah saya share di blog ini. Silahkan dibaca bagi yang belum baca: (http://muhammadassad.wordpress.com/2010/03/12/business-class-for-free/) dan (http://muhammadassad.wordpress.com/2009/11/20/dahsyatnya-sedekah/)

Robert Kiyosaki dalam bukunya yang sangat terkenal “Rich Dad Poor Dad”, menjelaskan bahwa ada 4 tipe orang dalam cashflow quadrant, yaitu Employee, Self-Employed, Business owner dan Investor. Kuadran 1 atau orang yang bekerja untuk uang diisi oleh Employee dan Self-Employed. Sedangkan Kuadran 2 atau uang yang bekerja untuk orang diisi oleh Business owner dan Investor. Dari kedua kuadran tersebut, secara jelas Kiyosaki mengatakan bahwa orang-orang yang berada di kuadran ke dua lah yang bisa menjadi orang yang kaya. Jadi, ya kalau bukan menjadi Business Owner berarti menjadi Investor, baru orang tersebut bisa menjadi kaya.

Tapi sebetulnya, jauh beribu-ribu tahun yang lalu, Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan hal yang secara implisit sama persis dengan realita yang terjadi sekarang ini. Dalam salah satu hadithnya beliau bersabda, “9 dari 10 Pintu Rezeki itu berasal dari perniagaan (perdagangan)” (HR. Tirmidzi). Dengan kata lain berarti yang menguasai 90% pintu rezeki itu adalah para pedagang atau pebisnis. Hal ini ternyata sejalan dengan fakta yang terjadi di dunia ini. Dari daftar 100 list of World’s Billionaires atau orang terkaya di dunia yang dikeluarkan oleh Forbes, lebih dari 90% adalah seorang business owner seperti Bill Gates (USA), Laksmi Mittal (India) dan Carlos Lim (Meksiko) atau seorang investor macam Warren Buffet (USA). Di Indonesia pun demikian, nama-nama yang selalu bertengger dalam daftar 100 orang terkaya di Indonesia adalah para pengusaha, seperti Aburizal Bakrie (Bakrie Brothers), Chairul Tanjung (Para Group),  Mochtar Riady (Lippo Group), sampai yang baru saja meninggal William Soeryadjaya (pendiri PT. Astra International).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dr. David McCelland dari Harvard University dalam bukunya “The Achieving Society”, suatu negara dapat mencapai kemakmuran dan kesejahteraan jika minimal 2% dari jumlah penduduknya menjadi pengusaha. Hal itu berarti, Indonesia membutuhkan paling tidak sekitar 5 juta dari 230 juta penduduknya untuk menjadi seorang pengusaha. Namun ternyata fakta yang ada seperti jauh api dari panggang. Menurut data yang disampaikan oleh Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hasan, jumlah total pengusaha Indonesia saat ini adalah “hanya” sekitar 450.000 pengusaha atau 0.2% dari jumlah penduduk Indonesia. Sebagai perbandingan, Amerika memiliki pengusaha lebih dari 11 %, Singapura 7,2%, Jepang dan China lebih dari 7%.

Dengan demikian, kalau menurut teori Kiyosaki, ada sekitar 99.8% penduduk Indonesia yang berada di kuadran pertama (Employee dan Self-Employed) dan 0.2% penduduk Indonesia yang berada di kuadran kedua. Ini berarti, sebanyak 450.000 (0.2%) penduduk Indonesia itu menguasai lebih dari 90% pintu rezeki dan sebanyak 229.6 juta (99.8%) penduduk hanya mendapatkan “sisa” pintu rezeki yang tinggal 10% saja. Sepertinya tidak adil ya, tapi memang seperti inilah kondisinya.

Faktor lingkungan dan pendidikan mempengaruhi seseorang untuk menjadi apa dia ke depannya. Salah satu dedengkot pengusaha Indonesia, Bapak Ir. Ciputra dalam suatu kesempatan pernah mengatakan bahwa akar dari kemiskinan Indonesia bukan semata karena minimnya akses pendidikan, melainkan karena sistem pendidikan di negara ini tidak mengajarkan dan menumbuhkan jiwa entrepreneur dengan baik. Pendidikan tinggi Indonesia lebih banyak menciptakan sarana pencari kerja dibanding pencipta lapangan kerja. Sistem pendidikan Indonesia yang banyak mengandalkan sistem belajar pasif (guru menerangkan dan murid mendengarkan) memberikan dampak yang cukup signifikan untuk membuat masyarakat Indonesia menjadi tidak kreatif dan produktif, dan hanya terbiasa mengandalkan makan gaji. Negara ini banyak mencetak begitu banyak sarjana yang handal dengan kemampuan akademisnya, namun tidak handal menjadikan mereka lulusan yang kreatif yang dapat menciptakan lapangan kerja. Akibatnya, pengangguran terdidik di Indonesia semakin besar setiap tahunnya. Too bad!

Saya pun, dan anda mungkin juga pernah mengalami ditanya oleh teman saat masih kuliah. Pertanyaaannya kurang lebih seperti ini, “nanti kalau lulus mau ngelamar kerja dimana?” saya sering menjawab, “Insya Allah mau buka usaha sendiri, mau berbisnis”. Tapi respon yang didapat, “kan bisnis butuh modal?” kata saya, “iya bener, tapi modal tidak selalu uang kan? bisa juga modal berbentuk ide dan gagasan. Bahkan, modal dengkul pun bisa!”. Untuk modal yang terakhir (dengkul), Bob Sadino adalah contoh ter-gress!

Jadi, dengan kondisi yang telah dijelaskan di atas, saya mengajak kepada teman-teman semua para generasi muda untuk menjadi seorang entrepreneur! Mengapa harus generasi muda? Karena generasi muda yang bertanggung jawab untuk membawa kemajuan suatu bangsa. Maju atau mundurnya suatu bangsa di masa yang akan datang dapat dilihat dari kondisi kaum mudanya pada masa sekarang ini.

Ada ungkapan yang mengatakan bahwa masa muda adalah masa hura-hura. Lebih tepatnya, “Muda foya foya, tua kaya raya, mati masuk Surga”. Siapa yang tidak ingin dengan kondisi seperti ini? Semua orang pasti menjawab, “Yes, I want!” Tapi sayangnya pepatah seperti ini menyesatkan. Tidak akan ada cerita jika di awal (masa muda) kita berfoya-foya, maka di masa tua kita akan kaya raya dan selanjutnya mati masuk surga hehehe. Kenapa? Karena inputnya saja sudah salah. Ibarat blender juice, kalau kita memasukkan jeruk ke dalam blender, maka yang keluar adalah jus jeruk dan bukan jus apple.

Seharusnya kalimat yang benar, kata foya-foya diganti dengan kata berkarya sehingga menjadi “muda berkarya, tua kaya raya, mati masuk Surga”. Berkarya disini bermakna luas, dan salah satu cara untuk bisa berkarya adalah dengan menjadi seorang entrepreneur. Menjadi seorang entrepreneur akan memberdayakan kemampuan potensi kita dan juga memberdayakan orang lain. Bukankah Rasululah SAW pernah bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling  bermanfaat bagi sesama” (HR. Thabrani). Dengan kata lain, menjadi entrepreneur memberikan kesempatan yang lebih besar kepada kita untuk dapat berkontribusi kepada Ummah, bangsa dan negara.

Sebagai penutup, saya membayangkan akan semakin banyak kaum muda Indonesia yang memiliki jiwa entrepreneurship, karena jiwa-jiwa seperti itulah yang menjadi pupuk untuk melahirkan lebih banyak lagi para pengusaha di Indonesia. Semakin banyak pengusaha, maka semakin besar juga kesempatan untuk bekerja karena banyaknya lapangan kerja yang tersedia. Dan pada akhirnya, semakin banyak kesempatan untuk bekerja, maka semakin tinggi pula harapan kesejahteraan bagi penduduk Indonesia.

What else are you waiting for? Let’s take off together! Go Young Entrepreneur!

Wallahu ‘alam bishshawwab

Nb: kalau ada yang punya jiwa entrepreneur atau senang berbisnis, boleh kita berdiskusi lebih jauh. Siapa tau ada peluang-peluang yang bisa kita kerjain bareng. Silaturahmi itu juga salah satu kunci mendatangkan rezeki! Silahkan hubungi saya melalui blog ini, twitter (@muhammadassad) atau email: muh_assad@yahoo.com

Wassalam,

1 komentar: